Tak pernah lepas pandanganku dari matanya yang berbinar setiap kali dia memandangku, sembari memperhatikan lekuk bibirnya sambil bercerita. Terkadang ia bercerita tentang fans-fansnya, terkadang tentang orang tuanya, terkadang tentang hal-hal aneh yang suka ia lakukan. Beberapa kali aku terpana mendengarnya. Entah apa yang membuatku terpana. Tidak ada yang cukup penting sebetulnya yang kami bicarakan, tapi aku selalu terkesima setiap kali mendengar suaranya yang bersemangat. Tertawa setiap kali ada hal lucu maupun tidak lucu yang kami bicarakan. Aku juga tidak mengerti mengapa aku tertawa? Mungkinkah karena ceritanya begitu lucu, ataukah aku begitu senang bersamanya, atau memang aku terlalu sinting bila dibandingkan dengan abege yang jatuh cinta?
Dengan mendengar suaranya saja, aku sudah bisa melepaskan segala kepenatan ku akan persoalan kantor bahkan persoalan-persoalan rumit lainnya .. Hmm bagaimana jika ku kecup bibirnya yang indah itu? Apa yang akan terjadi? Pikiranku melantur sembari memujinya… lagi… Lagi-lagi ia tersipu malu mendengarku memujinya. Tentunya bukan pujian gombal, segala kata yang kuucapkan adalah sesuai kenyataan.
Tidak wajar bila seseorang seperti ia tidak kupuji setiap waktu. Singkat cerita, aku betulan terpesona oleh auranya.
Dia satu-satunya yang menganggapku : Keren. Ahh, ya, aku sendiri juga tidak bisa menahan senyumku apabila ia memujiku. Entah kenapa semua begitu mudah dengannya, begitu bodohnya aku tertawa.
“kamu masih fokus gak?” tanyanya ke dalam mataku, saat aku senyum sendiri.
“iya, masih kok, aku fokus..”
“ceritaku atau bibirku?” tanyanya menunjuk bibirnya, menggodaku. Aku tertawa, “keduanya. Ini tuh siksaan..” ujarku.
Dia tertawa dan tersipu malu, “kamu yang ngajak aku ke sini. Jadi coba deh fokus dulu sama hal yang pertama.” dia lalu mendekat, memeluk tanganku. Aku tidak bisa lagi melihat mukanya yang indah. Sedikit kecewa, tapi itu tidak masalah, karena dia menempel padaku, membuat detak jantungku tiba-tiba melonjak tak karuan.
“oke sayang, aku bersahabat sama kamu.” Lalu aku memerhatikan jalanan di depan kami, “..kali ini.” Aku menambahkan dengan suara pelan, tidak yakin dia mendengarku, tapi dia tertawa, artinya dia mendengar kata tambahan itu.
“Sayang, coba kamu gaya ya, di sana.. aku mau foto kamu. Full body.” Aku menunjuk ke sudut taman di dekat danau yang kami kunjungi. “awas kalau jelek! Kamu aku hukum!” dia berkata sambil berjalan dan begitu saja menurutiku. Tidak kusangka dia sudah siap sendiri, dan dengan cepat aku mengambil gambaran dirinya berkali-kali hingga kupikir sudah ada sekitaran lima puluh foto dirinya dengan berbagai angle dan pose. Dia lalu berjalan ke arahku, padahal aku masih pegang handphone ku.
“sini aku mau lihat, kamu daritadi motonya ngasal banget deh. Kayaknya asal jepret!” Dia merebut handphone ku begitu saja. “Ihh tuh kan, jelek! Aku marah!” kata dia lalu dengan muka cemberut ia mengembalikan handphoneku.
“Masa iya? Kenapa marah?” tanyaku melihat-lihat hasil karya ku. Sepertinya bagus saja kok, obyeknya juga bagus lho. Aku tidak mengerti di mana yang jelek. Tidak ada juga foto yang buram. “Harusnya kamu tanyanya gini : gimana biar aku gak marah?” masih dengan cemberut dia menjawabku.
Aku menyahut, “Gimana biar kamu gak marah?” dengan muka yang bodoh. Dia lalu tersenyum menggoda, sedikit nakal kurasa. Aku semakin penasaran. “Foto sama aku, biar bagus! Ini jelek karena gak ada kamunya.” Hatiku berdesir mendengar ucapannya. Kemudian kami tertawa lagi. Sebetulnya di sini sangat ramai, bahkan orang lalu lalang, karena ini tempat wisata. Tapi anehnya, saat bersama dengannya, aku merasa segala latar belakang hanyalah ilusi yang ngeblur dan di sini, hanya ada dia dan aku. Aku tidak peduli bahwa ada banyak orang lain. Orang-orang itu tampak berseliweran di belakang kami saat berfoto berdua. Aku terlalu cuek hingga tidak menyadari itu semua.
Tiba-tiba saja, ia mencium pipiku. “Pose kaya gini yuk.” Lagi-lagi pikiranku kemana-mana. Tapi aku hanya menjawab, “oke sayang.” dengan muka yang memerah dan memanas, sungguh memalukan.
Setelah selesai foto narsis, ternyata hari sudah mulai gelap. Ditambah lagi langit menggelap seperti mau hujan. “Sayang, kayaknya mau hujan.” Aku mendongak ke langit-langit.
“Iya, jangan sampai kamu kehujanan.” Suaranya yang manis masih membiusku.
“Kita.” Jawabku. “Terutama kamu sih,” Soalnya kalau kehujanan, baju kamu yang sekarang bisa menunjukkan hal-hal yang harusnya tidak dilihat sama orang lain. Pikirku tidak rela.
“Ahh iya, kita.”
Ketika di motor, banyak hal yang aku ceritakan, dan ia selalu menanggapiku. Obrolan yang tidak pernah ada habisnya. Ia memeluk pinggangku erat, yang membuatku ingin cepat sampai dan beristirahat dengan wangi tubuhnya di sisiku.
Naas sekali, ketika kami tiba di sebuah persimpangan jalan, hampir saja aku menabrak seorang kakek tua. Ia kaget dan terjatuh, padahal motorku tidak menyentuhnya sama sekali! Gadis manis di belakangku berteriak “Kamu hati-hati ah bawanya!” Aku sedikit panik, menepikan motorku, dan membantu kakek tua yang kaget itu berdiri lagi. Jalanan lumayan sepi.
“Maaf pak, saya gak sengaja..” ujarku tulus. Ketika Si kakek duduk di pinggiran jalan, ia memperhatikan wanitaku, dari ujung ke ujung. Aku sedikit tidak rela, “Maaf pak ada apa lihat-lihatin pacar saya?”
“Oh dia pacar kamu?” tanya kakek itu seperti meyakinkan diri.
Tentu saja, jawabku dalam hati. “Saya lihat bapak gak apa-apa, kalau begitu kami lanjut jalan lagi, ya.” kataku tegas. Aku punya feeling jelek, nih…
“Pak kalau ada yang sakit bilang aja yah..” pacarku terlihat khawatir, ia menundukkan kepalanya kepada kakek tua itu, rambutnya tergerai dan memperlihatkan lehernya yang putih. Dia menahan tanganku pergi. Tatapan matanya galak kepadaku. Aku mesti bilang apa? Kakek tua itu kan tidak tersentuh motorku. Jangan-jangan si kakek cuma mau uang. Ahh sial, apes deh kalau betul begitu. Aku melipat tanganku di dada.
Pacarku dan kakek itu sedikit bercakap-cakap, sementara aku sudah kembali menaiki motor dan bersiap untuk pergi. “Ayo, sayang. Kamu ngapain sih?” Aku tidak sabar lagi.
Kami melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda karena hal tidak diinginkan. “Kamu ngomong apa sama kakek itu?” aku bertanya.
“Gak ada yang penting kok, cuma nanyain rumah dia di mana, katanya sih dekat sini. Kalau dia kenapa-kenapa kan kamu harus tanggung jawab! Yaudah gitu aja sih. Masa kamu cemburu?”
“Ah aku gak kalah sama kakek-kakek!” ujarku yakin.
Sepertinya belum ada sepuluh menit kami melanjutkan perjalanan, ada lagi saja penghalangnya. Kulihat 300 meter di depan, ada razia polisi! Ya ampun, apalagi ini. Aku ingat SIM ku sudah mati dan sedikit panik. “Sayang, ada razia tuh di depan.”
“Iya, kenapa?”
“Pinjam SIM kamu.”
“Hah? kan beda banget ih, masa pinjem. SIM kamu kemana coba, masa bawa aku jalan-jalan gak ada SIM?”.
“Aku punya, tapi udah mati. hehehe.. Gak apa-apa sih, nanti kalau diminta surat-surat, kamu kasih ya ke polisi itu.” kataku santai, meski jantungku berdebar.
Benar saja salah seorang polisi berperut buncit memberhentikan motor ku. Dia minta surat-surat. Pacarku langsung memberikan SIM-nya dan STNK motor. polisi itu tampak memperhatikan SIM yang diberikan, dia sedikit berkerut memperhatikan info yang tertulis. Memang daritadi kaca helm kami turun, agar muka kami tidak terlihat jelas di balik helm.
“Mau ke mana kalian?” tanya polisi itu.
“Ke rumah pak. Dekat sini.” jawabku singkat.
“Ohh benar, cewek ya, kirain cowok. Yaudah jalan sana!” sahut polisi itu cepat dan melepaskan kami.
Di jalan, aku tertawa. “Kita jodoh kali yang?”
“Iya, fotonya sama, masa. Untung rambut kamu panjang.” pacarku ketawa. Benar-benar menggelikan, jelas-jelas sangat berbeda, tapi polisi itu melepaskan kami. Patut dicoba di siang hari, nih. Mungkin saja karena sudah gelap, jadi dia lengah.
Aku berharap kami segera sampai ke rumah. Sudah dua kali perjalanan kami terhenti. Sudah tidak sabar… Pikiran ku kembali melayang membayangkan nafas hangat wanitaku di sebelahku.
“Sayang yang sabar ya?” kata pacarku tiba-tiba.
“Sabar banget, demi kamu. Dikit lagi juga sampai kok.” aku menyahut langsung. Ternyata dia paham juga.
Tiba-tiba saja laju motor menjadi tidak stabil. Ahh!! Apalagi deh!! pikirku kesal.
Aku menepikan motorku. Melihat masalah yang membuatku sangat kesal, dan menampilkan wajah yang masam. “Yang, ban motor bocor.”
Pacarku ikutan melihat ban motor yang sudah kempes dan tampaknya perlu tenaga yang cukup banyak hingga menemukan tukang tambal ban. “Yahh.. Ayang, masih sabar kan?” Pacarku memandangku sambil mengulum bibirnya. Tiba-tiba saja aku jadi semangat lagi.
“Gak apa-apa sayang, aku dorong aja motornya, sampai dapat tukang tambal ban.”
Pacarku mengangguk, mengikutiku, sesekali membantu mendorong motor. “Ayang, siksaannya berat, ya?” dia berkata prihatin.
“Berat banget sayang.. Gak tau apalagi deh habis ini.” aku ngedumel kesal, tapi juga gemas sama wanita berambut panjang di sebelahku. Ingin rasanya kupeluk dia, tapi badanku langsung berkeringat lelah mendorong motor sial ini.
Ternyata perkiraanku salah, sudah hampir 1 kilometer aku dorong motor, belum ada tanda-tanda tambal ban! Betapa sialnya. Lalu aku seperti melihat ban digantung di kejauhan, “Yang, kayanya gak jauh deh paling 250 meteran, itu kamu lihat kan? di sana tuh.” aku menunjuk ban yang bergantungan seperti tanda tambal ban.
“Ayang semangat nanti aku kasih hadiah deh.” Entah dia menyemangatiku, atau menggodaku. Bateraiku jadi 100% lagi. haha!
Setengah jam sudah kami habiskan waktu di tukang tambal ban. Benar-benar sudah gelap sekarang, dan gerimis akhirnya datang juga. Motor ku selesai ditambal. Kami lanjutkan perjalanan yang penuh siksaan ini, sambil berdoa dalam hati, jangan sampai ada lagi yang menghalangi.
Kami pun sampai di rumah tepat sebelum hujan bertambah deras. Pacarku kedinginan karena rembesan air gerimis yang sempat menerpa beberapa saat. “Sayang, kamu cepat bilas badan kamu.” aku menyuruhnya.
“Iya deh, basah gini.” pacarku langsung masuk ke kamar mandi. Sementara aku mengganti seluruh bajuku.
Ahh! Hari yang melelahkan, pikirku sambil rebahan di kasur yang nyaman. Entah bagaimana aku sepertinya tertidur saking capeknya mendorong motor lebih dari 1 kilometer.
Tak lama setelah aku memejamkan mataku, aku mencium wangi shampo dan sabun di ujung hidungku dan tetesan air mengenai wajahku. Aku membuka mataku, melihat wajah yang sangat indah dengan rambut tergerai yang masih basah di atasku, pacarku duduk disebelahku dengan hanya berlilit handuk. Ia lalu berkata, “Sayang.. Aku belum kasih kamu hadiah.”
Aku sedikit terkejut, kemudian tersenyum bodoh, bibirnya yang lembut menyentuh bibirku, dingin, dan basah.
Cobaan berat harus menunggu momen ini sepanjang hari dengan berbagai kesialan!! pikirku mulai melucuti handuknya dan mendekapnya dalam pelukanku..
1001 komentar tamu